Senin, 04 Maret 2013

Sebuah kapal karam. Seorang pemuda India terapung-apung dalam satu-satunya sekoci yang berhasil diturunkan bersama seekor zebra yang kakinya patah, seekor hyena, seekor orang-utan betina, dan seekor harimau. Pada akhirnya, tinggal sang pemuda, Pi Patel dan harimau bernama Richard Parker yang bertahan hidup.
Saat membacanya pertama kali, saya menganggap novelnya sekadar kisah bertahan hidup di lautan luas. Yann Martel, pengarang novelnya, menuturkan ceritanya dengan jenius. Lengkap dengan detil bagaimana bertahan hidup bila Anda terombang-ambing di tengah laut.
Saya tak pernah benar-benar memahaminya sebagai “kisah yang akan membuat orang percaya pada Tuhan.” Yang saya lebih pahami, betapa kisahnya bagi saya tadinya tidak mungkin difilmkan alias un-filmable. Saya berpikir, pasti bakal membosankan memfilmkan melulu harimau dan seorang pemuda di sekoci di tengah laut. Apalagi, narasi kisahnya dituturkan lewat pikiran sang tokohnya, bukan lewat aksi tapi lebih refleksi atas kejadian.
Namun, menonton filmnya tempo hari, saya berseru: Wow! Life of Pi tidak hanya memungkinkan untuk difilmkan, tapi juga menjadi film yang sangat sangat sangat indah!
Ah, saya tak mau berpanjang-panjang memuji keindahan filmnya sebagai santapan mata. Harap Anda menyaksikannya sendiri, terutama dalam suguhan 3D. Teknologi 3D dipakai Ang Lee, sutradaranya, tidak mubazir. Selain Hugo (2011, Martin Scorsese), inilah film berkelas Oscar yang memakai teknologi kamera 3D tidak untuk bergenit ria, namun memang dipakai sepantasnya membuat tontonan kian menakjubkan.
Di ulasan ini saya lebih tertarik membincangkan mengapa kisahnya membuat orang percaya Tuhan.
***Versi filmnya tidak dimulai dengan narasi segala perasaan Pi Patel, tokoh utama kita. Pemulis skenario David Magee memulai sebagaimana novelnya mengawali kisahnya: seorang penulis mendapat petunjuk sebuah cerita luar biasa dari seseorang, lalu ia menemui pemilik kisah luar biasa tersebut.
Di novelnya, Yann Martel, sang novelis asal Kanada, mengawali kisahnya dengan sebuah “Catatan Penulis” bagaimana rencananya membuat novel ketiganya—berlatar Portugal 1939—malah membawanya ke Pondhicerry, di sebelah selatan Madras, di Tamil Nadu, sebuah kota bekas wilayah jajahan Prancis di India. Di Pondicherry, Martel menulis, bertemu seorang tua yang berkata padanya, “Saya punya cerita yang bakal membuat Anda percaya pada Tuhan.”
“…kejadiannya bermula di Pondhicerry ini … dan berakhir di negeri asal Anda.”
“Ya”
“Itu luar biasa sekali.”
“Luar biasa, tapi bukannya tidak masuk akal.”
Filmnya tak menyuguhkan pertemuan sang novelis dengan orang tua yang mengenalkan kisahnya. Filmnya justru memulai saat sang novelis (di film dimainkan Rafe Spall) bertemu dengan Pi dewasa (dimainkan Irrfan Khan).
Dari mulut Pi dewasa kemudian kisah luar biasa ini dituturkan.
***Melihat filmnya, saya mengenang kembali bagian-bagian yang kemudian lebih menarik dari sekadar kisah bertahan hidup di lautan luas. Dengan lugas, lucu, dan polos, di awal film, misalnya, kita melihat Pi kecil (dimainkan Ayush Tandon) “mencari” Tuhan dengan memeluk Hindu, Katolik, dan Islam sekaligus. Bagian “mencari” Tuhan ini terasa pas hadir di tengah zaman yang mengagungkan masing-masing agama yang berbuntut konflik. Dengan tingkah polah bocah yang polos, bagian ini mampu mengocok perut.
Terus terang, selepas bertahun-tahun membaca novelnya, bagian “mencari” Tuhan ini tak terlalu saya ingat. Yang paling saya ingat, sekali lagi, ya tentang bagaimana Pi bertahan hidup di lautan bersama seekor harimau.
Filmnya juga akhirnya membuat saya memahami kalimat “kisah ini akan membuat percaya pada Tuhan” di novelnya.
Menjelang akhir film, (oke, sepatutnya saya bilang “SPOILER ALERT!” di sini) ada momen yang saya lupa dari novelnya. Saat selamat dan diwawancara petugas dari Jepang yang ingin menyelidiki karamnya kapal Tsimtsum (kapal barang milik Jepang) yang ditumpanginya, Pi menceritakan satu lagi versi bagaimana ia selamat dari kapal dengan satu sekoci.
Di ceritanya yang kedua tidak ada binatang. Yang menumpangi sekoci bukan zebra yang kakinya patah, orang-utan betina, hyena, dan harimau. Tapi seorang pelaut Taiwan, tukang masak, Pi dan ibunya.
Di cerita kedua Pi, tukang masak memotong kaki pelaut Taiwan yang terluka parah. Si pelaut Taiwan mati, lalu dagingnya dimakan tukang masak. Ibunda Pi marah besar. Mereka berkelahi dan ibunda Pi terbunuh. Pi akhirnya berhasil membunuh si tukang masak.
Jika diumpamakan, pelaut Taiwan adalah si zebra, tukang masak adalah hyena, ibunda Pi adalah orang-utan betina, dan Pi adalah si harimau.
Saat nonton saya ikut bertanya-tanya dan baru tersadar, mana cerita yang benar: cerita yang ada binatangnya atau yang tidak ada binatangnya.
Baik di film dan novel pesannya sama: cerita yang paling bagus adalah yang ada binatang-binatangnya. Tak peduli yang mana yang benar.
Kenapa? “Demikian pula Tuhan, yang oleh-Nya kisah ini digenapi,” kata Pi Patel di novelnya.
Sebab, pada kisah pertama, dengan binatang-binatang kita melihat berbagai keajaiban dan kuasa Tuhan yang Maha Pengasih. Dalam cerita kedua, kemanusiaan telah hilang. Tuhan seolah absen, dan kalaupun ada, Dia membiarkan kebiadaban terjadi.
Ya, akhirnya saya paham, pada kisah pertama, dengan binatang-binatang di dalamnya, membuat kita percaya pada Tuhan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar